Senin, 28 April 2014

Kalau haram dimanfaatkan maka haram pula diperdagangkan...

http://rumaysho.com/muamalah/haram-dimanfaatkan-haram-diperdagangkan-7375 Segala sesuatu yang haram pemanfaatannya, maka haram pula diperdagangkan. Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).”[1] Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan, وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia pun melarang upah (hasil penjualannya).”[2] Yang termasuk dalam pemanfaatan yang haram sehingga jual belinya terlarang adalah jual beli rokok, dadu, kartu judi, buku yang berisi kekufuran, kebid’ahan, pemikiran sesat atau berisi akhlak yang rusak seperti buku porno, buku yang berisi gambar perempuan yang membuka aurat, baju yang terdapat gambar makhluk yang memiliki ruh, baju yang terdapat gambar wanita, pakaian wanita yang ketat dan seksi, dan baju yang memiliki salib. Segala makanan atau minuman yang diharamkan, maka diharamkan pula diperdagangkan. Sebagian yang dimaksud sudah disebutkan di atas. Makanan lainnya yang diharamkan adalah: - Hewan yang disembelih tanpa disebut nama Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121) - Hewan yang dikurbankan atau sebagai tumbal untuk selain Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ “Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3). - Keledai jinak, sedangkan keledai liar itu halal. Dari Anas bin Malik, ia berkata, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.“[3] - Binatang yang bertaring dan burung yang memiliki cakar. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.”[4] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring -menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[5] Adapun yang dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek seperti pada burung nasar dan burung elang, sebagaimana dikatakan oleh penulis ‘Aunul Ma’bud.[6] - Hewan jalalah (yang mengkonsumsi yang najis atau mayoritas konsumsinya najis) Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.”[7] - Setiap yang diperintahkan untuk dibunuh Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ “Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya)[8] yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).”[9] Yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[10] Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan, أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik.”[11] Imam Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cecak.” Dari Ummu Syarik –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ » “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.”[12] Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ “Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.”[13] - Setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau dan katanya biasa memangsa burung pipit), dan katak. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.”[14] Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ia berkata, أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا. “Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.”[15] Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air yang dibolehkan untuk dikonsumsi.”[16] Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Segala hewan yang dilarang untuk dibunuh disebabkan karena dua alasan. Pertama, karena hewan tersebut adalah terhormat (seperti semut dan lebah, pen) sebagaimana manusia. Kedua, boleh jadi pula karena alasan daging hewan tersebut haram untuk dimakan seperti pada burung Shurod, burung Hudhud dan semacamnya.”[17] [1] HR. Ad Daruquthni 3: 7 dan Ibnu Hibban 11: 312. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. [2] HR. Ahmad 1: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. [3] HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940. [4] HR. Muslim no. 1934. [5] Syarh Shahih Muslim, 13: 77. [6] ‘Aunul Ma’bud, 10: 198. [7] HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih [8] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 101. [9] HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198. [10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115. [11] HR. Muslim no. 2238. [12] HR. Bukhari no. 3359. [13] HR. Muslim no. 2240. [14] HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [15] HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [16] Aunul Ma’bud, 10: 252 [17] Idem. — Diselesaikan di malam hari di Panggang, Gunungkidul, 27 Jumadats Tsaniyyah 1435 H Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com

Jumat, 25 April 2014

Jual Beli Alat Musik hukumnya haram..??

Ilmu datang kepada manusia tidak dengan sekaligus Demikian juga dengan pemahaman Ilmu datang bertahap menghampiri manusia apakah sengaja dicari maupun tidak Artikel2 dalam Rumasyo.com mebawa kita kedalam perenungan baru Agama adalah ilmu Hidayah datang dari sisi Allah SWT..(pz) http://rumaysho.com/muamalah/hukum-jual-beli-alat-musik-7356 Apr 25, 2014Muhammad Abduh Tuasikal, MScMuamalah0 Di antara jual beli yang diharamkan adalah jual beli alat musik. Penghasilan dari jual beli tersebut adalah haram. Dari Abu Umamah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لاَ تَبِيعُوا الْقَيْنَاتِ وَلاَ تَشْتَرُوهُنَّ وَلاَ تُعَلِّمُوهُنَّ وَلاَ خَيْرَ فِى تِجَارَةٍ فِيهِنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ فِى مِثْلِ هَذَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ ( وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ » “Janganlah menjual dan membeli budak biduanita, jangan pula mengajarkan pada mereka, tidak ada kebaikan dalam perdagangan seperti itu. Upah jual belinya pun haram. Untuk yang semisal ini turunlah ayat (yang artinya), “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna[1] untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.”[2] hingga akhir ayat.“[3] Al Mubarakfuriy berkata tentang ayat yang disebut di atas bahwa yang dimaksud adalah musik dan suara yang diharamkan yang melalaikan dari mengingat Allah.[4] Dalam kitab karya Al Khotib Asy Syarbini yaitu Mughni Al Muhtaj disebutkan, “Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dihancurkan. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika dihancurkan.”[5] Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’) karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafi’i ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja’ bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil upah dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, beliau berkata, “Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahli maksiat.”[6] Tentang haramnya musik diterangkan dalam dua hadits berikut ini. Dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, ia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata, أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ رَاحِلَتَهُ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.” Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.” Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[8] Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang. Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini, اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ “Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) menimbulkan mudarat yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”[9] Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com sekalian. Hanya Allah yang memberi taufik. [1] Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Ada pula yang menafsirkan dengan membeli para biduanita. Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. Lihat Fathul Qodir, 4: 308. [2] QS. Luqman: 6. [3] HR. Tirmidzi no. 1282, Ibnu Majah no. 2168 dan Ahmad 5: 264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. [4] Tuhfatul Ahwadzi , 4: 538. [5] Mughnil Muhtaj, 2: 368. [6] Kifayatul Akhyar, hal. 285. [7] HR. Bukhari no. 5590 secara mu’allaq –tanpa sanad- dengan lafazh jazm/ tegas. [8] HR. Ahmad 2: 8. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan. [9] Majmu’ Al Fatawa, 11: 567. — Disusun di sore hari di Panggang, Gunungkidul, 25 Jumadats Tsaniyyah 1435 H Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com

Makan dahulu atau Shallat dulu ?

http://rumaysho.com/shalat/hukum-shalat-saat-makanan-telah-tersaji-7304 Apr 22, 2014Muhammad Abduh Tuasikal, MScShalat0 Manakah yang mesti didahulukan saat makan malam -misalnya- telah tersaji, apakah makan dulu baru mengerjakan shalat? Atau bagaimana? Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560). Dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan, إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ “Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 557). Yang Dinafikan dalam Hadits Jika disebutkan tidak dengan kata “laa” dalam hadits, maka yang dimaksud bisa tiga makna: (1) laa yang menafikan keberadaan, artinya tidak ada, (2) laa yang menafikan kesahan, artinya tidak sah, (3) laa yang menafikan kesempurnaan, artinya tidak sempurna. Demikian maksud penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin. Kalau dimaknakan dengan makna peniadaan secara total, tidaklah tepat karena masih saja ada orang yang shalat saat makanan sudah disajikan atau sambil menahan kentut. Kalau shalat saat makanan tersaji tidak sah, ini bisa jadi menurut ulama yang berpendapat kekhusyu’an itu wajib ada di dalam shalat. Jika dalam shalat terlalu sibuk dengan hal-hal lain di luar shalat, shalatnya tidaklah sah. Kalau kita nyatakan bahwa kekhusyu’an adalah sunnah shalat, bukanlah wajib sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama, berarti “laa” yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurna. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang lebih tepat, kalimat dalam hadits berarti “tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan”. Berarti, dapat kita sebut bahwa shalat saat makanan telah tersaji, hukumnya makruh. Faedah Hadits Beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari hadits: 1- Islam sangat perhatian terhadap shalat sampai-sampai memerintahkan untuk konsentrasi dalam shalat dan menghilangkan pikiran di luar shalat. 2- Shalat dengan penuh kekhusyu’an lebih utama daripada shalat di awal waktu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan untuk makan lebih dulu supaya kekhusyu’an shalat tidak terganggu dengan hadirnya makanan. 3- Memilih untuk menyantap makan tidaklah mengapa walau shalat jama’ah nantinya luput. Kalau menyantap saat waktu shalat itu bukan rutinitas dan telah rutin mengerjakan shalat secara berjama’ah, maka pahala berjama’ah tetap dicatat. Hal ini berdasarkan hadits, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba dalam keadaan sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya semisal keadaan beramalnya saat mukim (tidak bersafar) atau saat sehat (tidak sakit).” (HR. Bukhari no. 2996). Makan saat shalat berjama’ah termasuk uzur yang sama dengan hadits ini, sehingga juga akan dicatat sama halnya ketika sakit atau bersafar. 4- Jika makanan belum dihidangkan saat sudah merasa lapar, maka tetap shalat dikerjakan lebih dulu. Hadits di atas dimaksudkan mendahulukan shalat jika makanan telah tersaji. Karena saat itu kecenderungan hati lebih besar dibanding saat makanan belum hadir. Jadi prinsipnya bukanlah “ketika lapar lebih baik makan daripada shalat.” Prinsip yang dimaksud dalam hadits adalah “mendahulukan makan dari shalat saat makanan telah tersajikan.” 5- Maksud dari mendahulukan makan dari shalat adalah ketika benar-benar dalam keadaan butuh untuk makan (benar-benar lapar). Karena sebab larangan mendahulukan shalat kala itu adalah karena masalah khusyu’ dan konsentrasi hati. Jika hati tidak begitu butuh pada makan, maka tidak jadi larangan mendahulukan shalat saat itu. Karena “al hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan aw ‘adaman”, hukum itu berputar pada ada atau tidaknya illah. 6- Jika makanan telah tersaji namun saat itu tidak boleh disantap, maka bukan berarti shalat mesti ditinggalkan. Misalnya, jika belum shalat Ashar dan kita baru terbangun saat mendekati matahari terbenam dan masih belum waktu berbuka puasa, namun makanan telah tersaji. Maka tidak bisa dikatakan bahwa kita tidak shalat Ashar saja karena makanan telah tersaji, tunda saja shalat tersebut sampai berbuka. Yang benar, shalat Ashar tetap dikerjakan meskipun makanan belum bisa disantap karena memang belum saatnya waktu berbuka. 7- Jika ada makanan porsi besar dan makanan ringan saat berbuka puasa, maka yang lebih baik tetap mendahulukan makanan ringan, barulah setelah shalat Maghrib dilanjutkan dengan makanan berat. Demikian kesimpulan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin. Semoga sajian di atas bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com. Referensi: Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1426 H, 2: 480-483, 2: 511-517. — Disusun di malam hari, 22 Jumadats Tsaniyyah 1435 H di rumah tercinta Panggang, Gunungkidul Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCo