Kalau haram dimanfaatkan maka haram pula diperdagangkan...
http://rumaysho.com/muamalah/haram-dimanfaatkan-haram-diperdagangkan-7375 Segala sesuatu yang haram pemanfaatannya, maka haram pula diperdagangkan. Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).”[1] Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan, وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia pun melarang upah (hasil penjualannya).”[2] Yang termasuk dalam pemanfaatan yang haram sehingga jual belinya terlarang adalah jual beli rokok, dadu, kartu judi, buku yang berisi kekufuran, kebid’ahan, pemikiran sesat atau berisi akhlak yang rusak seperti buku porno, buku yang berisi gambar perempuan yang membuka aurat, baju yang terdapat gambar makhluk yang memiliki ruh, baju yang terdapat gambar wanita, pakaian wanita yang ketat dan seksi, dan baju yang memiliki salib. Segala makanan atau minuman yang diharamkan, maka diharamkan pula diperdagangkan. Sebagian yang dimaksud sudah disebutkan di atas. Makanan lainnya yang diharamkan adalah: - Hewan yang disembelih tanpa disebut nama Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121) - Hewan yang dikurbankan atau sebagai tumbal untuk selain Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ “Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3). - Keledai jinak, sedangkan keledai liar itu halal. Dari Anas bin Malik, ia berkata, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.“[3] - Binatang yang bertaring dan burung yang memiliki cakar. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.”[4] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring -menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[5] Adapun yang dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek seperti pada burung nasar dan burung elang, sebagaimana dikatakan oleh penulis ‘Aunul Ma’bud.[6] - Hewan jalalah (yang mengkonsumsi yang najis atau mayoritas konsumsinya najis) Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.”[7] - Setiap yang diperintahkan untuk dibunuh Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ “Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya)[8] yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).”[9] Yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[10] Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan, أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik.”[11] Imam Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cecak.” Dari Ummu Syarik –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ » “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.”[12] Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ “Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.”[13] - Setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau dan katanya biasa memangsa burung pipit), dan katak. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.”[14] Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ia berkata, أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا. “Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.”[15] Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air yang dibolehkan untuk dikonsumsi.”[16] Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Segala hewan yang dilarang untuk dibunuh disebabkan karena dua alasan. Pertama, karena hewan tersebut adalah terhormat (seperti semut dan lebah, pen) sebagaimana manusia. Kedua, boleh jadi pula karena alasan daging hewan tersebut haram untuk dimakan seperti pada burung Shurod, burung Hudhud dan semacamnya.”[17] [1] HR. Ad Daruquthni 3: 7 dan Ibnu Hibban 11: 312. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. [2] HR. Ahmad 1: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. [3] HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940. [4] HR. Muslim no. 1934. [5] Syarh Shahih Muslim, 13: 77. [6] ‘Aunul Ma’bud, 10: 198. [7] HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih [8] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 101. [9] HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198. [10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115. [11] HR. Muslim no. 2238. [12] HR. Bukhari no. 3359. [13] HR. Muslim no. 2240. [14] HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [15] HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [16] Aunul Ma’bud, 10: 252 [17] Idem. — Diselesaikan di malam hari di Panggang, Gunungkidul, 27 Jumadats Tsaniyyah 1435 H Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com